Sembilan
belas tahun yang lalau tepatnya pada tahun 1995 silam. Batu kali kami sulap
menjadi menu makanan favorit kami sekeluarga. Garis kemiskinan tidak lekang
hilang digerus zaman orde baru kala itu. Kemiskinanlah yang memaksa keluarga
kami untuk merajut asa, untuk melepaskan diri dari jerak hinaan dan rasa
kekuarngan.
Saudara
tertuaku, sebut saja Daim Zaini yah begitula pangilannya. Bergelut rasa iba
terhadap keluarga yang memaksa Daim untuk melakukan hal apapun selagi bisa
mendapatkan uang dan bisa untuk membeli beras untuk makan adik-adiknya termasuk
saya (ahmad irfankahan hamim sutopo) beserta ke 7 anggota keluarga ku. Tak
sungkan-sungakan Kak Daim demi untuk mendaptkan sesuap nasi harus menekuni dan
menjalani pekerjaan yang luar biasa besar resikonya.
Tak
lain pekerjaan yang kakak Daim tekuni adalah sebagai pencari batu di dalam
sungai. Bukan sungai layaknya yang mempunyai bebatauan yang indah nan elok
dipegunungan dibalut hijaunya rerimbunan pepohonan, di selimuti kabut yang indah
nan lembut dan riuhnya suwara angin meniup demi helai daun serta sejuknya udara
pegunungan membuat mata enggan berkedip.
Sungai
yang menyediakan batu kali di daerah pedalaman sungai lumpur sumatera selatan,
adalah sungai yang berlumpur dipesisir pantai timur. Entah dari mana asal batu
tersebut. Beberapa sumber atau cerita masyarakat dahulu ketika kapal-kapal yang
berlayar dari pilau jawa membawa batu, dengan tujuan supaya kapal tidak oleng.
Batau-batu tersebut berfariatif ada yang bersa dan ada yang kecil. Sesampanya
kapal-kapal tersebut batau dikeluarkan dari palka kapal dan di buang dibibis
sungai. Seteklah terbuang habis kapal tersebut mencari hasil bumi sumatera
selatan dan melanjutkan pelayaranya ke pulau jawa. Begitu seterusnya.
Batu-batu
yang dibuang ditepian sungai tersebut yang kedalamanya mencapai 10-11,5 meter
tersebut, membawa anugrah tersendiri bagi kakak Daim. Batu yang tidak
bermanfaat tersebut. Suatu saat ketika keluarga kami kehabisan beras dan uang
untuk belanja, kaka mempunyai inisiatif untuk mencari batu. Dengan modal perahu
kecil seukuran 3 meter kakak dan bapak mencoba untuk mencari rizqi melelui
butiran-butiran batu. Berbekal keberanian dan tali serta kayu kakak menyelam
sungai dengan kedalaman 10-11,5 meter secara manual, tanpa kaca mata dan
peralatan menyelam.
Ketika
malam tiba kakak pamit dengan ibu serta bapak untuk mencari batau. Bapak ketika
itu sakit asma dan komplikasi penyakit lainya, tidak tega melihat kakak mencari
batu. Akhirnya bapak dengan kondisi kesehatan yang kurang baik memutuskan untuk
ikut kakak. Sembari kakak mengayuhkan daun dayung bapak tergeletak lemah tanpa
daya. Sembari kakak membesarkan hati bapak yang sakit tersebut, untuk istirahat
diperahu. Sekitar 2 jam sampilah dilokasi penyelaman. Sesampainya ditempat
tujuan kakak langsung melepas pakaiany dan membangunkan bapak yang tertidur
pulas. Dibentangkanya tali dan kayu tersebut, perlahan kakak menceburkan diri
kedalam kali. Batu sebesar kepala ketika menyelam hanya mampu membawa dua buah
saja. Untuk dapat mengumpulakan batu 1 perahu tersebut membutuhkan waktu 2-3
jam. Bapak yang setia dan tidak bisa berbuat banyak hanya bisa menungu diatas
perahu menanti kakak yang menyelam kedasar sungai. Bapak pernag bilang jika
kakak bisa bapak telan maka akan bapak telan karena tidak tega melaihat kakak
yang menyelam dan mengambil batu. Sambil menagis dan tersedu-sedu bapak terus
mengawasi kakak.
Rasa
dingin bercampur dengan rasa asinya air di lidah menambah rasa yang cepat
lelah. Selesai menyelam kakak langsung mimisan dan telingnya berdara. Terus
seperti itu jika kegiatan menyelam kakak lakukan,. Namun tidak juga jerah atau
enggan untuk melakukanya. Tak jarang kakak sampai rumah subuh haru bahkan
sampai jam 2 subuh.
Batu
sebanyak perhau tersebut dihargai Rp. 60.000,- tidak sebanding dengan resiko
serta ssah payahnya untuk mencari batu. Belum lagi jika ada orang yang membeli
terkadang ditawar hanya Rp. 35.000,-. Pesanan batu biasanya langsung kakak
setorkan jika batu tersebut ada. Batu batu tersebut dimanfaatkan untuk membuat
pintu air tambak mirip dengan bendungan air.
Keesokan
harinya uang Rp. 35.000 atau Rp. 60.000,- tersebut langsung kakak belanjakan
untuk membeli beras serta keperluan dapur. 1 kepala keluarga 7 orang anggota,
jadi beras sangat boros. Harag beras rojo lele 25 kg Rp. 15.000,-. Yang lainya
untuk membeli bumbu dapur. Kakak akan merasa santai jika beras masih ada. Muli
was-was lagi jiaka beras di gentong mulai habis.
Menyelam
penghasilan paling utama, dikarenakan penduduk sekitar kurang dari 10 kepala
keluarga. Kegiatan menyelam ini biasanya kakak lakukan 1 minggu bisa 2-3 kali.
Belum lagi jika malam hari atau siang hari hujan air sungai menjadi keruh,
jarak pandang sangat terbatas. Selain itu juga disungai tersebut banyak buaya. Disela-sela
mencari batu kakak selalu menyempatkan untuk menggali tambak pada malah
harinya. Bapak dan ibu mencangkul tanah gambut yang akan digalai. Sambil
menanam sayuran seperti : bayam, singkong, kecipir, kacang, cabai, terong dll.
Pada malah harinya tak jarang bapak, terkadang ibu sambil mengendong saya
menunggu tanaman, kalau tidak ditunggu pada malam hari dimakan babi hutan. Pada
siang harinya saya beserta ketiga kakak perempuan saya menunggu tanaman
tersebut dari monyet-monyet yang mencoba mencari kacang serta terong. Kami
harus berlarian kesana kemari. Terkadang kami ber empat yang lari tunggang
langgang karena di kejar kera jantan.
Ditahun
yang sama juga saya harus meliburkan diri selama 3 tahun tidak sekolah. Ada
sekolah SD namun jaraknya sangat jauh 12 km ditempuh dengan perahu dayung.
Kesedihan
yang amat sangat memilukan hati karena dengan menyelam mencari batu, tiba suatu
saat ada teman bapak sebut saja ibu markini yang tahu bahwa kakak berprofesi
sebagai tukang menyari batu di dasar sungai. Jika ibu markini tersebut melihat
kakak langsung menagis dan memeluk erat. Serasa tidak tega.
Kedua
orang tua saya bukan membiarkan adau mengandalkan kakak untuk mencukupi
keluarga. Bapak dan ibu sudah tua dan sakit-sakitan. Jadi tidak mampu berbuat
apa-apa melihat sang anak menyelam mencari batu. Entah mengapa dahulu bapak dan
ibu sering sekali sakit, mungkin karena fikiran? Entahlah saya tidak tahu. Sampi
sekarng engan untuk menanyakan, takut jiaka bapak dan ibu teringgung dan sedih
mengingat masa lalu.
Pembaca
yang mulia...
Kami
sekeluarga terutama kakak dan kedua orang tua, tidak pernah menyesalkan atau
mengungkit kejadian itu. Kata mereka yang terjadi biarlah terjadi, kita manusia
hanya bisa menjalani, percayalah Allah SWT memberikan cobaan mustahil diluar
batas kemampuan umat-NYA. Jalani hidup ini dengan lapang dada. Jangan menyerah
apalagi mengerutu merenungi nasip dan mengeluh. Mengeluh tidak menjadikan iman
kita bertambah melainkan akan terkikisnya rasa iman kita.
Salam
sukses....
Lubuk
Seberuk, 23 Juli 2014
Ahmad Irfankahan Hamim Sutopo
Komentar
Posting Komentar
askep45.com