Kerika
masih sekolah MITA (madrasah ibtidaiyah tarbiatul athfal) di kecamatan pasir
sakti pada tahun 1998-1999. Di memori saya terekam jelas dan ingat betul, saya
pindah sekolah dari SD N 3 kedaung palas harus pindah dan masuk kesekolahan
baru MITA. Maklum lah anak baru, bahasa baru, sekolah baru, teman baru, seragam
baru, pelajaran baru serta guru baru. Tadinya saya belajar pelajaran umum ya di
SD. Lantaran pindah sekolah dan kini pelajarnya pun bukan hanya umum melinkan
ada agama (quran hadtis, fiqih, bahasa arab, sejarah kebudayaan islam, akidah
akhlak dll). Butuh waktu untuk adaptasi. Tadinya berseragam merah putih,
berubah menjadi hijau putih, tangan panjang dan mengunakan kopyah (songkok
hitam).
Belum
pula denga postur tubuh serta umut yang sudah sedikit lebih besar ketimbang
teman-teman. Rata-rata teman-temankelahiran 1990 dan ada juga yang 1992,
terpaut jauh dengan saya yang lahir ditahun 1988 beda kan. Kok bisa usia sudah
aggak gede sekolah dengan teman-teman yang usinya dibawah. ? ya bisa .! bukan karena
bodoh atau tinggal kelas saya begini. Bukan itu maslahanya.
Begini
ceritanya, sebelum sekolah di SD N 3 Kedaung Kec. Seragi Kab. Lampung Selatan.
Saya sebelumya sekolah di SD N 1 Sungai Betok, Kec. Tulung Selapan Kab. Ogan
Komering Ilir Sumatera Selatan. Saya sekolah SD dahulu usia belum genap 6
tahun. Setelah mengiliti proses belajar kurang lebih 1 tahun, tepatnya pada
saat mau kenaikan kelas 2 SD harus berhenti sekolah 3 tahun lebih. Sebab
musababnya sekolah SD saya jauh 4 kilo meter dan hanya bisa di tempuh dengan
transportasi sungai dan hanya menggunakan perahu ketinting yang panjang
perhaunya mencapai 7 meter. Perhau bisa meluncur dengan sarat harus di dayaung.
Dengan besar dan panjangnya perahu ketinting tersebut hanya di dayaung
anak-anak SD yang berjumlah hanya sekitar 8 orang lengka dari SD Kelas 1 sampai
kelas 6.
Beda
dengan perahu jaman sekarang yang serba menggunakan mesin. Dahulu mempunyai
perahu bermesin sudah hal yang luar biasa. Perahu yang kami bawa sekolah,
perahu orang tua saya, perahu tidak akan bisa kami gunakan untuk sekolah jika
bertepatan dengan jawla ibu kepasar untuk mengangkut anaeka hasil bumi mulai
sayaur sampai ayam. Jiak tepat dengan jadwal ibu kepasar maka tak jarang kami
ahaus mencari pain jaman perahu yang tidak digunakan untuk bepergian alias bisa
di pinjam untuk dibawa sekolah. Jika tidak ada pinjaman perahu kami tidak
sekolah dan menghabiskan waktu kami untuk bermain disungai berenang, mencari burung
dirawa-rawa, mencari ikan di parit-parit kesil, mancing/najur (teger) dan tak
jarang kami bermain Geblok Bunder, bentengan, petak umpet, dan Selodor (semuanya permainan tradisional
yang sekarang umumnya anak-anak tidak tau akan permainan ini).
Dengan
perhau sebesar 7 meter hanya didayung. Maka hanya bisa meluncur dengan sangat
pelan apa lagi yang mendayung anak SD. Dan saya karena paling kecil diberi
tugas untuk memegang dayung di bagaian paling belakang, sebagai pengemudi arah,
yang lainya mendayung dan mendayaung sampai tujuan. Sering kami menagis ketika
mendayung. Karena kami berlawanan dengan arus sungai yang lumayan deras. Sungai
yang kami lewati sungai yang, berair hitam pekat, dingin ditepian banyak
terdapat pohon Nipah (sejenis palem), lebar sungai mencapai 80-100 meter.
Perahu yang kai gunakan untuk sekolah tanpa ada penutup alias terbuka fuull.
Jadi jika matahari siang dengan sengatan panasnya kami harus berteduh di bawah
pohon Nipah. Jika masih saja panas dan sudah menjelang sore kami harus
melanjutkan perjalanan lagi dengan cara kami loncat kedalam sungai, setekah
basah paju dan celana kami mendayung lagi. Jika panas lagi laoncat lagi, terus
berulang kali kami lakukan. Belum lagi jika hujan mendadak, tidak ada untuk
menyembunyikan tas dan sepatu tak jarang setibanya kami di sekolahan kami harus
di hukum berdiri di bawah tiang bendera dengan pakaian basah tanpa alas kaki. Tambah
lengkap lagi jika kami sebagian kami ada yang tidak berangkat sekolah kamipun
tidak berangkat sekolah. Dengan alasan siapa yang kuat mendayung perahu sebesar
itu. Tak jarang sampai rimah ketika arus deras plus hujan kami sampi rumah
sebelum dan kadang sesudah sholat Asar.
Saya
tak tahu kenapa saya dahulu dibiarkan sekolah hanya dengan kedua kakak permpuan
saya, tanpa ada ikut serta kedua orang tua untuk mengantarkan anak-anaknya
sekolah minimal diantar dan ditunggu untuk kemudian pulangnya, sama sekali
tidak. Sampai sekarang saya enggan menanyakan mengapa demikian.
Sebelum
sekolah, saya yang paling sering menagis. Jarang sekali ketika mau berangkat
sekolah saya sarapan sekedar Nasih putih dengan garam. Jarang sekali bisa
ketemu nasih putih sekitar 1 bulan sekali, terkadang lupa bagaimana rasa nasi
putih itu. Waktu sarapan dan pulang sekolah serta makan malam menunya hanya
itu-itu saja. Hanya ada 1. Pisang yang belum genap usianya 1 bulan ares di
tebang dan diambil buahnya dan di kupas, lalu di kukus sampai matang, ditaburi
ampas kelapa/parutan kelapa tanpa gula (garam). 2. Singkong yang dibuat gaplek
dan oyek. 3. Singkong dikupas kulitnya lalu di rebus atau di kukus. 4. Ares
pisang bagian bawah dan tengah pisang yang masih muda. Ada pun sayuran yang
biasa saya konsumsi 1. Dau keremah, dau orang-aring, legetan, daun singkong,
kangkung, bayam, keladi dll. Semuanya dari hutan yang ada di sekitar rumah.
Pernah
terjai sesuatu hal yang sangat menyedihkan. Waktu itu saya belum sekolah, yang
sekolah kakak permpuan saya yang nomor 2, 3 dan 4. Saya dirumah dengan ibu,
bapak dan kakak kerja mencari kayu. Kakak tertua saya laki-laki yang baru lulus
sekolah SD harus ikit kerja dengan bapak mencari kayu untuk dijual ke
tengkulak. Kakak kedua saya namanya Sri Ngatoyah, pulang dari sekolah sendirian
setelang menyeberangi sungai dan bejalan kakai di bawah pepohonan besar-besar
nan rindang. Timalah kakak dirumah, saya sambut kedatangan kakak saya dengan
kata-kata “hore hore yayuk balek”. Dengan raut wajah yang capek dan panas,
terlihat sekali diraut wajah kakak. Ibu di sebelah rumah sedang mencangkul,
dihampiri oleh kakak serta bersalaman serta mengucapkan salam. Ibi langsung
berhenti, dan menyampikan pesan,. “kono gek salen kelambi, gek madang, sholat
terus momong adi mu”. Kakak menjawab ” injeh mak”, lalu kakak bertanya, “mak
dinten niki nopo sayaure?”. “kae mamak nyayur kacang di santen nek wajan, nok
nduwor luweng”. Bergegas kakak ganti pakaian dan langsung menuju dapur kecil
kami yang beratapkan daun rumbia serta berdindingkan rumpia pula. Sambila
mengikuti langkah kakak kedapur saya minta digendong. Kakak kelihatanya sangat
gembira sekali bahwa ibu memasak sayur kacang disantan. Selama ini makan hanya
berlauk garam, ya hanya garam. Sembari
mengambil piring yang terbuat dari senga ada polesan kembang berwarnan merah,
saya turun dari gendongan kakak. Tepat nasi tibul di bakul bambu didepan saya
dan kakak. Dengan penu harapan makan kali ini bakalan enak dan kenyang, walu
hanya sekedar kacang yang diberi santan. Wajan yang tepat diatas tungku dapur
perlahan dibuka kakak saya, dan benar santan, lalu kakak mengambil dengan
sendok sayaur yang terbuat dari batok kelapa dan ternyata yang ibu sayur
bukanlah kacang yang muda segar dan hijau, melainkan kulit kacang kering, yang
bijinya ditanam ibu di samping rumah tadi. Seontak kakak menagis, sambil
memeluk saya dan kakak perempuanku. Saya pun ikit menagis. Nasi tiwul yang
tadinya kakak mengambil dalam posri banyak, akhirnya harus dikembalikan kedalam
abakul nasi. Entah apa yang ada di fikiran kakak mengapa ia menagis. Semanbari
mengais kakak makan dengan pelan. Lalau saya dan kakak saya dijanji jangan
bilang-bilang ibu kalau habis menagis. Kami saya dan kakak saya sampai sekarang
tidak bernai cerita apalagi bilang kalau pernah menagis lantaran makan sayaur
kulit kacang panjang yang sudah kering.
Bukan
sedih karena penderitaanya. Bahwa semua hal yang kita idam-idakan tidak ada
yang instan. Semua ada jalan dan prosesnya masing-masing. Tidak mungkin kita
melangkah dari anak tangga yang dasar lalu naik secara perlahan namun pasti
keanak tangga yang paling tinggi. Semua harus mengikuti proses dan harus
mengeluarkan dana serta doa. Pepatah jawa mengatakan “jer basuki mowo beo.
Saudar
...
Pesan
yang ingin saya sampaikan malalui tulisan sederhana ini yaitu jangan takut
untuk memulai dan mengapai cita-cita, gantunglah cita-citamu setinggi mungkin.
dimanapun kita berada, apapun bentuk sekolahmu, negeri atau swasta, dimanapun
tempatnya, sekalipun di lubang semut jangan pernah korbankan cita-citamu,
seberapa miskinya dirimu, berpapun ummur mu jangan takut untuk mengambil
keputusan untuk masa depan, tetap sama jika kita sungguh-sungguh. Manjjada
Wajjada !!! jangan takut, jangan minder apapun bentukmu dan apapun kekurangan
mu. PD lebih baik (seperti saya).
Ada
kemauan pasti ada jalan seperti kata-kata. Imam Syafi’i “Seseorang yang berilmu dan beradab,
tidak akan diam dikampung halamanya. Tinggalkanlah negrimu, dan merantaulah
kenegeri orang. Merantaulah kau, akan mendapat pengganti dari
kerabat dan kawanmu. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir
menjadi jernih, jika tidak akan keruh mengenang. Singa jika tak tinglkan sarang
tidak akan mendapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena
sasaran. Jika matahari diorbitnya, tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia
bosan padanya dan enggan memandangnya. Biji emas bagaikan tanah biasa, sebelum
digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam
hutan”. (dikutip dari novel negeri lima menara.
UPT.
Simpang Tiga SP.2, 28 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar
askep45.com