Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN KITA MENGHADAPI OTONOMI DAERAH


PENDIDIKAN KITA MENGHADAPI OTONOMI DAERAH
Prestasi dunia pendidikan Indonesia sangat luar biassa. Hasil survey PBB tahun 2001 menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dari 174 negara. Itu artinya pendidikan di Negara kita tertinggal jauh dibandingkan dengan Negara lain. Padahal  Malaysia yang dulu pernah berguru ke Indonesia menempati posisi 61,tahiland 67,Filipina 77, Brunei 32,dan Singapura berada di posisi 32. Sedangkan pendidikan di Finlandia mendapat peringkat terbaik se dunia
Selain itu kemampuan siswa Indonesia di bidan sains menempati posisi 32 dari 38 negara. Hasil tes guru-guru di Indonesia pun menunjukan bahwa sekitar 50 persen memproleh nilai nol. Kondisi ini diperparah lagi dengan maraknya tawuran antar siswa di berbagai kota di Indonesia.
Kemajuan suatu bangsa dengan kualitas dunia pendidikannya,angka-angka tersebut menunjukan betapa carut marut dunia pendidikan kita. Dengan serta merta kita pun langsung menmunjuk pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Padahal memang pada pemberlakuan otonomi daerah khususnya pada bidang pendidikan diberikan  wewenang pada pemerintah .
Sistem pendidikan kita menjadi sangat birokratis,manipulative dan terkesan korup. Kondisi ini masih diperparah lagi oleh penyediaan anggaran pendidikan yang kecil,kualitas guru rendah,kurikulum yang sering berubah,serta kesejahteraan guru rendah.semua ini menegaskan bahwa intervensi yang berlebihan dapat melumpuhkan dunia pendidikan.
Pemberlakuan otonomi daerah mulai diterapkan melalui UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan.

Otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusatdaerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilainilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Konsep awal otonomi daerah muncul pada tahun 1903 melalui undang undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial Belanda. Undang-undang Otonomi Daerah waktu itu dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903 dan merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Tiga pasal tambahan yakni pasal 68a, 68b, dan 68c berisi empat hal yaitu:
  1. Bahwa Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah;
  2. Pemerintahan daerah tersebut akan dilaksanakan oleh pejabat tinggi (hoofdamtenaren);
  3. Gubernur jenderal sebagai penguasa dari pejabat tersebut, dan
  4. Kekuasaan sipil adalah kekuasaan tertinggi di daerah (Wignjosoebroto, 2004).
Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah termasuk di dalamnya pemerataan pendididikan yang bermutu. Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana bentuk ideal pendidikan di era otonomi daerah?. Tulisan ini berusaha menggambarkan pendidikan di era otonomi daerah.
Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi
Pendidikan di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, semestinya mampu dinikmati oleh semua element masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.
Adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) OCCLUSIVE DRESSING

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) OCCLUSIVE DRESSING Pengertian :      Teknik perawatan lukadengan cara menutup lukan dan memberi cairan, nutrisi dan antiseptik dengan drip selama 24 jam terus menerus Tujuan : 1.       Untuk mencegah infeksi 2.       Mempertahankan kelembaban 3.       Merangsan pertumbuhan jaringan baru 4.       Mengurangi nyeri 5.       Mengurangi terjadinya jaringan parut Indikasi : 1.       Ulkus varikosus 2.       Ulkus strasis 3.       Ulkus kronis Perosedur pelaksanaan A.     Tahap pra interkasi 1.       Persiapan alat a.        Kain kasa steril b.       Verban gulung c.        Larutan untuk drip yang terdiri dari : Nacl 0,9%, 325 cc, glukosa 40%, 125 cc dan betadin10%, 50cc d.       Trofodermin cream e.        Antibiotika tropical f.        Ganti verban set g.       Infus set h.       Pengalas i.         Sarung tangan j.         Gunting k.       Bengkok l.         Hipavix atau plester m.     Pelastik penutup ( tipis, putih dan transparan ) n.       Standar

STANADAR OPRASIONAL PROSEDUR ( SOP ) Menyusui

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) Menyusui A.    Pengertian Teknik Menyusui Yang Benar adalah cara memberikan ASI kepada bayi dengan perlekatan dan posisi ibu dan bayi dengan benar (Perinasia, 1994). B.    Tujuan C.    Persiapan ASI Persiapan memberikan ASI dilakukan bersamaan dengan kehamilan. Persiapan memperlancar pengeluaran ASI dilaksanakan dengan jalan : 1. Membersihkan puting susu dengan air atau minyak, sehingga epitel yang lepas tidak menumpuk. 2. Puting susu ditarik-tarik setiap mandi, sehingga menonjol untuk memudahkan isapan bayi. 3. Bila puting susu belum menonjol dapat memakai pompa susu atau dengan jalan operasi. D.    Prosedur Kerja 1.     Cuci tangan bersih dengan sabun. 2.     Atur posisi bayi. a.     Bayi diletakkan menghadap ke ibu dengan posisi sanggah seluruh tubuh bayi. b.     Lengan ibu pada belakang bahu bayi, tidak pada dasar kepala, leher tidak menengadah. c.     Hadapkan bayi ke dada ibu, sehingga hidung bayi berhadapan dengan puting susu, sedangkan

A STORY FROM INDONESIAN NURSE IN SAUDI ARABIA

We are just a group of nurses who are unable to face competition in their own country!   W e decided to reached Saudi Arabia with big dreams . I came here together with friends who unable to survive in the past. I have a story about sadness, care with communities that I lived and some friends survived with salary that I can not explain more. Sad.     Sadness is not the end of our story. We support each other that life must go on. I believe what Allah SWT says in the Qur’an, there is simplicity after trouble. We are a group of nurses, who always write our experiences and trips on social media and share to others. It called a story and our achievements not only be used as motivation but also spirit in the future.   Our fate was not as beautiful, what we have writ ing about our skills are not as good as what we have done. T he house flat where we live is not as beautiful as the house bird's , our dining flat there are no family photos, no relatives after work enjoyi