HUKUM PERKAWINAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut perkawinan. Melalui perkawinan, akan menyebabkan adanya (lahirnya) keturunan yang baik dan sah, dan akan terciptanya pula suatu keluarga yang baik dan sah pula yang kemudian akan berkembang menjadi kerabat dan masyarakat yang baik dan sah pula. Dengan dimikian, maka “perkawinan merupakan unsur tali temali yang meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat yang baik dan sah”. Dalam pandangan masyarakat adat, perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa yang bertujuan untuk membangun, membina, dan memelihara hubungan keluarga serta hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhaanan Yang Maha Esa. Sehubungan dengan pernyataan tersebut diatas, Prof. Dr. Soekanto, S.H., menegaskan mengenai pengertian suatu perkawinan, bahwa “perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja, akan tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya” (Tolib setiady, 2009, 221) Menurut Prof. Dr. R. Van Dijk, berpendapat bahwa “perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkut paut dengan urusan familie, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Hal ini berbeda dengan perkawinan seperti pada masyarakat barat (eropa) yang modern bahwa perkawinan hanya menrupakan urusan mereka yang akan kawin itu saja” (Tolib setiady, 2009 ; 222) Aturan-aturan hukum adat mengenai perkawinan di beberapa daerah di indonesia berbeda-beda dikarenakan sifat kemasyarakatan daerah tersebut. Adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat indonesia yang berbeda-beda, serta hal itu dikarenakan juga oleh adanya kemajuan dan perkembangan zaman.
PEMBAHASAN
A. Arti dan Fungsi perkawinan
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang amat penting dalam perikehidupan masyarakat kita, sebab masalah perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga kedua belah pihak dari orang tua, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Beberapa pendapat para ahli, mengenai arti dari perkawinan tersebut, adalah sebagai berikut :
a. Prof. Dr. Barend Ter Haar, B.Z.n.
Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut.
b. Djaren Saragih, S.H.,
Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan.
c. Prof. Hilmnan Hadikusuma, S.H.,
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-carapelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.( (Tolib setiady, 2009 ; 225)
Oleh karena begitu pentingnya suatu peristiwa perkawinan, maka dalam masyarakat adat dalam pelaksanaannya pun senantiasa mempunyai arti penting juga. Baik dalam persiapannya maupun setelah prosesi peristiwa perkawinan tersebut. Dalam masyarakat adat biasanya hal tersebut dilakukan disertai dengan upacara-upacara tertentu, sesaji dan lainnya.
Seorang sosiolog dari perancis, A Van Gennep menamakan upacara-upacara itu sebagai suatu upacara peralihan (RITES DE PASSAGE). Upacara-upacara peralihan dimaksud, merupakan upacara yang melambangkan peralihan atau perubahan status dari masing-masing mempelai dari yang semula hidup sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian setelah melampaui upacara-upacara yang disyaratkan (perkawinan) menjadi hidup bersatu dalam satu kehidupan bersama sebagai seuami-istri sebagai keluarga tersendiri (SOMAH).
Di dalam bukunya yang berjudul ‘Azas-azas hukum adat’ Prof. Djojodigoeno menyebutkan, bahwa “hubungan suami istri setelah perkawinan bukanlah merupkan hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, akan tetapi ini mweupakan suatu paguyuban, yaitu adalah paguyuban hidup yang menjadi ajang pokok, ajang hidup suami-istri selanjutnya bersama anak-anaknya. Paguyuban hidup tersebut lazim disebut somah (istilah jawa yang berarti keluarga) dan dalam somah itu, hubungan suami-istri itu adalah sedemikian rapatnya sehingga dalam pandangan orang jawa nereka berdua itu merupakan satu ketunggalan (Tolib setiady, 2009 ; 226).
Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat, masih mempertahankan prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (darah) (GENEOLOGIS), maka “fungsi perkawianan adalah merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia (perkawinan) merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan” (Tolib setiady, 2009 ; 222)
Menurut hukum adat, suatu perkawinan bukan saja berarti bahwa suami dan istri harus saling bantu-membantu dan melengkapi kehidupan rumah tangganya saja akan tetapi juga berarti ikut sertanya orang tua, keluarga dan kerabat kedua belah pihak untuk menunjang kebahagiaan dan kekekalan hidup berumah tangga.
Pada masyarakat adat yang susunan kekerabatannya ke-bapak-an (Patrilineal) berbeda dari masyarakat adat yang susunan kekerabatannya ke-ibu-an (Matrilineal), begitu pula terhadap masyarakat yang susunan kekerabatannya ke-bapak-ibu-an (Parental) atau yang bersendi ke-bapak-an beralih-alih (Altenerend). Bahkan dikalangan masayrakat adat yang selingkungan adat yang hukum adatnya bersamaan pun terdapat variasi-variasi yang berlainan di antara satu sama yang lainnya (Tolib setiady, 2009 ; 223)
Eksistensi hukum adat masih berlaku sebagai kenyataan yang hidup dalam masyarakat, di dalam Undang-undang Perkawinan nasional tersebut tidaklah diatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan bentuk-bentuk upacara-upacara perkawinan, peminangan dan lainnya sehingga kesemua masalah yang disebutkan tersebut masih berada dalam ruang lingkup Hukum Perkawinan Adat dan akan selalu dilakukan oleh setiap warga negara indonesia yang melangsungkan perkawinannya selama orang tersebut masih menghormati dan menjunjung nilai-nilai adat yang hidup dalam bermasyarakat.
B. Pertunangan
Pertunangan merupakan satu stadium atau satu keadaan yang bersifat khusus di indonesia yang biasanya mendahului atau mengawali proses dilangsungkannya suatu perkawinan. Pertunangan ini timbul setelah adanya persetujuan dari kedua belah pihak calon pengantin untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Persetujuan antara kedua belah pihak tersebut dicapai dengan sebelumnya diadakan lamaran atau peminangan, myaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan yang biasanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pertunangan baru mengikat kedua-belah pihak apabila dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang dipinang) suatu tanda pengikat yang kelihatan, yang disebut panjer atau peningset. Tanda pengikat dimaksud, diberikan kepada keluarga pihak perempuan atau kepada pihak orang tua perempuan atau kepada bakal mempelai perempuan itu sendiri ((Tolib setiady, 2009 ; 228)
Latar belakang dilangsungkannya pertunangan tersebut tidak sama antar daerah satu dengan daerah atau golongan masyarakat adat yang lain, akan tetapi lazimnya, suatu pertunangan tersebut dilakukan dengan alas an :
a. Sebagai jaminan perkawinan yang dikehendaki itu akan benar dapat dilangsungkan;
b. Untuk membatasi ruang gerak si perempuan agar tidak menjalin hubungan dengan laki-laki lain;
c. Memberi kesempatan kedua belah pihak agar dapat lebih saling mengenal, sehingga mereka kelak dapat menjadi sebuah keluarga yang harmonis.
Pertunangan tersebut dalam perjalanannya dapat batal,batalnya suatu pertunangan yang telah terjadi adalah dalam hal :
1. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri hubungan (pertunangan) mereka (tidak jadi melangsungkan perkawinan);
2. Salah satu pihak yang bertunangan tidak memenuhi janjinya.
C. Susunan Golongan Masyarakat Adat
Secara garis besar terdapat 3 susunan golongan masyarakat adat, yaitu Patrilineal, matrilineal, parental.
1. Patrilineal
Susunan masyarakat adat ini diambil berdasarkan garis keturunan dari laki-laki (bapak). Perkawinan dalam susunan kekeluargaan disini dinamakan perkawinan jujur. Pada perkawinan jujur ini, pihak laki-laki harus memberikan atau menyerahkan (membayar) sesuatu yang disebut jujur (baik uang ataupun barang) kepada pihak keluarga pengantin perempuan dengan tujuan untuk melepaskan atau memutus hubungan kekeluargaan antara pihak perempuan dengan orang tuanya, nenek moyangnya, serta kerabat-kerabatnya. Setelah perkawinan dalam susunan kekeluargaan ini dilakukan, maka istri (beserta anak-anaknya nantinya) masuk kedalam persekutuan keluarga dari laki-laki. Dengan demikian maka si istri telah berubah statusnya dari anggota clannya sendiri selagi dia masih gadis dan menjadi anggota clan dari suaminya sebagai seorang isteri.
Dalam pelaksanaannya, penyimpangan-penyimpanganpun ditemukan terjadi dalam pelaksanaan jujur ini, penyimpangan-penyimpangan tersebut berupa :
a. Jujur yang dibayar kemudian, artinya jujurnya baru dibayarkan dikemudian hari setelah dilangsungkannya perkawinan;
b. Jujur tidak dibayar, artinya jujurnya tidak dibayar. Maksud perkawinan ini adalah supaya menantu laki-laki beserta anak-anaknya menjadi anggota keluarga dari bapak mertua laki-laki tersebut;
2. Matrilineal
Perkawinan dalam susunan kekeluargaan seperti ini disebut semendo/ semenda, yaitu bentuk perkawinan yang bertujuan untuk melanjutkan atau mempertahankan garis keturunan dari Ibu. Dikatakan semendo/ semenda artinya adalah bahwa pihak laki-laki dari luar didatangkan (pergi ke) tempat perempuan. Dalam perkawinan semendo/ semenda ini tidak dikenal istilah pembayaran jujur melainkan pelamaran pun dilakukan dari pihak perempuan.
3. Parental
Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan seperti ini biasa dinamakan perkawinan bebas, maksudnya orang bebas kawin dengan siapa saja tidak terbatas keturunan nantinya akan berada dalam garis keturunan yang mana. Setelah terjadinya suatu perkawinan, maka suami akan masuk dalam keluarga istrinya sebaliknya istri setelah melakukan perkwainan maka akan masuk dalam keluarga suaminya. Dalam perkawinan seperti ini ada istilah seperti jujur, tetapi bukan seperti itu maksudnya. Yaitu adalah pemberian hadiah (mas kawin) kepada mempelainya.
D. Sistem perkawinan
1. Sistem endogamie
Dalam sistem perkawinan ini, perkawinan dilangsungkan dengan pihak yang melakukannya harus masih dalam satu keturunan (satu clan). Hal ini dilakukan agar harta waris/ pusaka yang dimiliki oelh persekutuan tersebut tidak jatuh pada orang lain.
2. Sistem eksogamie
Dalam sistem ini, seseorang yang akan melangsungkan pernikahan harus melakukannya dengan pihak dari luar persekutuannya.
3. Sistem eleutherogamie
Dalam sistem ini tidak terdapat larangan-larangan seperti yang terdapat dalam sistem perkawinan endogamie dan eksogamie. Batasan/ larangan-laranag dalam sistem perkawinan ini hanyalah yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan, hal tersebut dengan alasan :
a. Nasab (keturunan dekat), misal kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu ataupun saudara kandung.
b. Musyaharah (periparan), misal kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu ataupun anak tiri.
E. Larangan Perkawinan
Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan atau jika dilakukan maka akan menggagun keseimbangan masyarakat emnajdi terganggu, hal inilah yang disebut sebagai larangan perkawinan.
Larangan perkawinan ini ada karena memenuhi persyaratan larangan agama yang telah diakui masuk menjadi hukum adat ataupun memang memenuhi persyaratan larangan dalam hukum adat.
1. Larangan menurut hukum adat
a. Karena hubungan kekerabatan;
b. Karena perbedaan kedudukan.
2. Larangan menurut hukum agama
a. Karena pertalian darah;
b. Karena pertalian kawin;
c. Karena pertalian sepersusuan.
F. Perceraian
Perceraian menurut hukum adat adalah suatu peristiwa yang luas, putusnya suatu perkawinan dikarenakan suatu perceraian menurut hukum adat dan ataupun menurut hukum agama adalah merupakan suatu perbuatan tercela. Hal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan hakikat diadakannya perkawinan, dalam hal perceraian adapun beberapa alasan atau yang dapat dijadikan sebab, yaitu : perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak/ kedua belah pihak, mandulnya salah satu pihak/ kedua belah pihak.
G. Harta Perkawinan
Untuk menjamin kelangsungan hidup bersama setelah diadakannya suatu perkawinan, maka dibutuhkanlah sesuatu yang dinamakan kekayaan duniawi. Kekayaan duniawi tersebut disebut sebagai harta perkawinan, harta perkawinan yang merupakan kekayaan duniawi wajib dibedakan dari kekayaan kerabat. Pemisahan mengenai harta perkawinan tersebut, oleh beberapa ahli berpendapat :
1. Menurut Soerojo Wignjodipoero
“harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan di bawa ke dalam perkawinan.
b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama.
d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.”
2. Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H.,
“dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah ini:
a. Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”
b. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”
c. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan, yaitu harta pencaharian”
d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
Tolib setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan) Cetakan Ke-2, Alfabeta, Bandung 2009
Komentar
Posting Komentar
askep45.com