HUKUM KEKERABATA
A. Pendahuluan
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, etnis, dan budaya, yang memiliki ciri khas masing-masing bagaimana cara mereka dalam berhubungan antara anak dengan orang tua, anak dari wangsa ibu dan ayah. Bagaimana jika sang anak tersebut kehilangan orang tuanya, dan jika anak tersebut diadopsi oleh orang lain. Maka dari itu diciptakanlah hukum yang mengatur permasalahan tersebut agar supaya hubungan kekerabatan lebih teratur secara global tidak bersifat sukuisme yang kita tahu bahwa ada hukum dalam suku tersebut itu tidak pantas dilakukan sebagaimana mestinya.
Selain itu hukum kekerabatan juga berfungsi sebagai pelindung dan pengayom dalam kekeluargaan agar supaya keretakan dan kesenjangan dalam rumah tangga dapat dihindari sehingga terciptalah kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Pentingnya hukum kekerabatan untuk dipelajari akan dibahas pada makalah ini.
B. Pembahasan
A. Hubungan Anak dengan Orang Tuanya
1. Pada persoalan yang dirumuskan di atas diadakan pembedaan antara hubungan kekerabatan sebagai pengertian umumdan hubungan anak dengan orang tuanya sebagai hubungan khusus. Hal ini perlu karena:
a. Di dalam struktur patrilineal: wangsa-wangsa ibu mempunyai arti yang lain bagi si anak daripada ibunya sendiri;
b. Di dalam struktur matrilineal: wangsa-wangsa bapak mempunyai arti yang lain bagi si anak daripada ayahnya sendiri;
c. Berbagai hubungan (kewajiban elimentasi, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan, hubungan-hubungan pewarisan) terjalin dengan ibu selaku ibu atau dengan ayah selaku ayah, tidak selaku warga-warga terdekat.
2. Anak yang lahir di dalam perkawinan, beribu wanita yang melahirkannya dan berayah pria suami ibunya, penyebab kelahiran dia. Di dalam perumusan itu tersimpul penyimpangan-penyimpangan yang munkin terjadi terhadap keadaan normal:
a. Di sementara lingkungan hukum, anak luar kawin beribu wanita tak kawin yang melahirkannya, sama halnya dengan anak yang beribu wanita yang melahirkannya di dalam perkawinan sah (Minahasa, Ambon, Timor, Mentawai);
b. Di wilayah-wilayah lain terdapat rasa benci yang mendalam kapada ibu yang tidak menikah, beserta anaknya ; mula-mula keduanya dikeluarkan dari persekutuan hukum, dibunuh (ditenggelamkan) atau diserahkan kepada raja sebagai budak, jadi dipindahkan ke suasana orang-orang luar persekutuan hukum (mungkin karena rasa takut akan kelahiran anak yang tidak didahului dengan upacara pernikahan)
3. Tetapi berhubung dengan itu, baik dahulu maupun sekarang orang mengenal lembaga-lembaga bermaksud melepaskan ibu dan anaknya dari nasib yang malang itu;
a. Kawin paksa dari pria dengan wanita yang menunjukkan sebagai orang yang menghamilkannya (tunangan atau bukan).
b. Kawin darurat: kawinnya sembarang pria (misalnya Kepala Desa) dengan seorang wanita hamil, supaya kehamilan bayinya nanti terjadi di dalam ikatan perkawinan yang sah (Jawa: “nikah tambelan”, Bugis: “pattongkih sirik”, “penutup malu”.
4. Karena sekarang ekskomunikasi dengan kekerasan itu sudah tidak lagi atau jarang terjadi (Nias), maka ibu dan anak ditoleransikan, namun si anak tetap dikenal dengan nama ejekan, kecuali kalau karena alasan-alasan tertentu dapat dilakukan perbuatan pengesahannya (Bali). Kadang-kadang diperlukan pembayaran adat agar tetap dapat tinggal di dalam persekutuan hukum. Hubungan anak dengan ibunya yang tak kawin itu sama dengan hubungan anak sah dengan ibunya. Di Bali anak-anak yang lahir di dalam suatu periode hidup berkumpul sebelum perkawinan adalah sah.
5. Di Minahasa, hubungan anak dengan pria tak kawinyang menurunkannya adalah serupa dengan hubungan anak dengan ayahnya. Bila si ayah hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan itu, maka ia memberikan hadiah (lilikur) kapada ibu anaknya (dalam hal mereka tidak berdiam serumah). Di dalam tempat lain, anak luar kawin itu menurut hukum adat tidak berayah. Anak-anak bumiputra - Kristen kadang-kadang dapat disahkan pada waktu upacara pelangsungan perkawinan (juga berdasarkan ordonansi S. 1933-74 : Ordinansi Perkawinan orang-orang Indonesia – Kristen Jawa, Minahasa, Amboina)
6. Bila seorang anak selama ikatan perkawinan dirurunkan oleh pria lain daripada yang telah nikah dengan ibunya, maka ayah anak tersebut menurut hukum adat ialah pria yang nikah sah dengan ibunya, kecuali jika suami sah ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima; hal ini dimugkinkan di Jawa.
7. Menurut hukum adat rupanya tidak relevant, anak itu lahir berapa lama sesudah pelangsungan pernikahan. Hukum islam menentukan : anak yang sah dilahirkan lebiih dari 6 bulan sesudah akad nikah. Ketentuan ini barangkali di sana-sini berpengaruh kepada hukum adat. Yang pasti ialah bahwa ketentuan tersebut tidak mengubah lembaga kawin paksa dan kawin darurat di atas tadi.
8. Anak yang lahir sesudah perkawinan putus, berayah suami dalam perkawinan tersebut, bila ia dilahirkan selama masa hamil. Waktu 4 tahun yang ditetapkan oleh hukum Islam tidak dioper oleh hukum adat.
9. Anak-anak keturunan selir dikebelakangkan terhadap anak-anak keturunan istri utama dalam hak atas warisan dan hak atas derajat / martabat ayahnya.
10. Akibat hukum dari hubungan anak-ayah dan anak-ibu adalah:
a. Larangan kawin antara ayah dan anaknya perempuan, antara ibu dan anaknya laki-laki di semua wilayah;
b. Kawajiban elimentasi dan hak untuk dipelihara secara timbal-balik; namun dalam pada itu, pretensi dari kerabat unilateral dalam hal-hal tertentu dapat mengesampingkan kewajiban dan pretensi dari si ayah atau si ibu;
c. Jika sang ayah ada, maka ia selalu harus bertindak selaku wali dari anaknya perempuan pada upacara akad nikah yang dilakukan secara islam.
11. Hukum waris ab intestato antara orang tua dan anaknya lebih berdasar atas susunan kerabat daripada hubungan orang tua-anak, tetapi praktek pembagian (harta pencarian sendirii semasa hidup) menurut kenyatannya banyak menimbulkan perubahan dalam hal itu, misalnya untuk hal kepentingan hubungan seorang ayah Minagkabau dengan anaknya.
12. Penghapusan, penanggalan hubungan hukum antara orang tua dan anak dengan suatu perbuatan hukum, demikian pula pengusiran anak laki-laki oleh ayahnya, kesemuanya itu formal mungkin diberbagai lingkungan hukum : Angkola = “mangaliplip”, Bali = “pegat mapianik”
13. Menitipkan seorang anak kepada orang lain untuk dipelihara sebagai anak piara, adalah suatu cara yang disemua wilayah boleh dijalankan oleh orang tua untuk melaksanakan kewajibannya memberi nafkah kepada anaknya. Perbuatan ini berlainan sama sekali dengan penyerahan di dalam adopsi, meskipun nyatanya kadang-kadang sukar untuk membedakan kedua perbuatan itu. Anak uang dititipkan setiap waktu dapat diambil kembali oleh orang tua kandungnya dengan penggantian biaya-biaya pemeliharaan.
B. Hubungan Anak Dengan Kelompok Kerabat / Wangsanya
1. Yang masih memerlukan penyelidikan mendalam ialah persoalan apakah seorang anak luar kawin yang di dalam lingkungan hidupnya tetap dinilai rendah sebagai “haram jadah”, karena ibu tak nikah bersama anaknya hampir-hampir tidak ditoleransikan di dalam paguyuban hidup itu, derajat hubungannya dengan kelompok wangsa ibunya seperti anak sah:
a. Di wilayah yang satu, anak luar kawin itu berada di luar kelompok kewangsaan (Rejang)
b. Di wilayah yang lain, nampaknya dalam hal ini tidak ada pembedaan antara anak luar kawin dan anak sah (Jawa); bila orang mengakui hubungan antara anak luar kawin dengan ayahnya, maka hal ini berlaku pula terhadap kelompok wangsanya.
2. Di dalam sementara lingkungan hukum, hubungan antara kelompok wangsa ayah dan anak adalah sama belaka dengan hubungan kelompok wangsa ibu dengan anak yang bersangkutan; ini terdapat di dalam susunan / tertib parental. Larangan dan kecenderungan kawin, hak waris, kewajiban memberi nafkah, semua hubungan hukum itu berintensitas sama kedua jurusan.
Namun dalam pada itu harus dibedakan antara dua konfigurasi:
a. Suku-suku dipedalaman Kalimantan dan Sulawesi Tengah yang mempertahankan stelsel parental tersebut karena:
1) Adanya endogami (suatu kebiasaan kawin di dalam suku di wilayah kediaman sendiri);
2) Sikap mengasingkan diri dari dunia luar. Memang mungkin berlaku kebiasaan diantara mereka bahwa suami-suami berdiam serumah dengan kerabat istri-istri masing-masing, sehingga anak-anaknya lebih mengenal kerabat ibunya daripada kerabat ayahnya, tetapi menurut hukum Adat tidaklah terdapat perbedaab antara keduanya.
b. Suku-suku bangsa yang tidak hidup di dalam ikatan genealogis yang besar, melainkan tersusun keluarga demi keluarga di dalam persekutuan-persekutuan hukum teritorial, seperti di Aceh, Jawa, dan sebagainya. Disini tidak ada lagi exogami atau endogami berdasarkan penggolongan kerabat (kadang-kadang ada endogami desa) larangan dan kecenderungan kawin, hak waris, kewajiban memberi nafkah adalah sama pada kedua belah pihak.
3. Di Kalimantan dan Sulawesi tampak adanya peralihan susunan parental yang terikat dalam rangka persekutuan suku, kaum / bagian suku dan kerabat ke arah tertib parental dengan keluarga-keluarga selaku satu-satunya kesatuan sosial.
4. Dibeberapa lingkungan hukum lainnya terdapat tata kewangsaan sosial yang bersifat patrilineal atau matrilineal. Ini berarti bahwa, pertama : kelompok-kelompok kewangsaan yang dapat dikenal sebagai kesatuan sosial karena susunannya ke dalam dan karena sebagai kebulatan berhubungan dengan tanah, rumah benda-benda lain, dengan nama, gelar, pangkat adat dan sebgainya, tersusun berdasarkan prinsip keturunan yang khusus sehingga hanya bermakna dan berkonsekuensi bagi mereka yang :
1) Berasal dari bapak leluhur bersama melalui garis / pancar laki-laki, atau
2) Berasal dari leluhur bersama melalui garis / pancar perempuan.
Jika kedua prinsip tata kewangsaan khusus itu di dalam satu masyarakat menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok kewangsaan (bercampur baur) yang menampakkan diri sebagai kesatuan-kesatuan sosial, masing-masing dengan kepalanya, namanya, harta kekayaan dan kepentingan sendiri, yang disitu masing-masing merupakan bagian dari dua suku :
a. Clan wangsa seibu leluhur melalui garis perempuan, dan
b. Gens wangsa (lain sama sekali) sebapak leluhur melalui garis laki-laki; maka susunan semacam ini dapat disebut tata-kewangsaan unilateral rangkap.
Tata kewangsaan sejenis ini sekarang sudah jarang terdapat di Nusantara. Salah satu survival dari ciri unilateral rangkap ialah pewarisan barang tertentu dari ayah kepada anak laki-laki dan pewarisan barang-barang tertentu dari ibu kepada anak perempuannya (Aceh, Sawu)
Namun dikalangan banyaj suku bangsa Indonesia, asas tata-kewangsaan khusus itu menimbulkan penggolongan sosial yang jelas, sehingga dasar tunggal dari tata-kewangsaan ialah clan matrilineal atau gens patrilineal; masing-masing dapat mempertahankan kekhususannya terutama dengan jalan exogami. Kedua : hubungan sosial dari anak terhadap kelompok kewangsaan kelompok ibunya berbeda dengan hubungan sosial terhadap kelompok kewangsaan ayahnya :
a. Pada tertib matrilineal, yang sosial terpenting bagi si anak ialah kelompok wangsa ibunya, sebab dengan mereka itulah si anak segera bertemu di dalam segala hubungan hidupnya : larangan kawin, exogami, berlaku di dalam kelompok tersebut;
b. Pada tertib patrilenal, gens si ayah memegang peranan terpenting pula.
Namun ini tidak berarti bahwa :
a. Di dalam kelompok matrilineal, bagian clan si ayah (yang melalui garis perempuan) seakan-akan tanpa arti bagi si anak;
b. Di dalam susunan patrilineal, bagian gens si ibu (yang melalui garis laki-laki) seolah-olah tiada arti bagi si anak.
Misal :
a. Di minangkabau : golongan kerabat si ayah (bako baki) :
a. Diwakili dalam berbagai upacara;
b. Kadang-kadang membantu dalam keperluan hidup seorang anak;
c. Mendapat prioritas dalam hal memilih jodoh;
d. Dapat mengoper harta kekayaan suatu kerabat yang akan punah, dengan mendahului orang-orang asing lainnya.
b. Di tanah Batak : bagian gens patrilineal si ibu :
a. Pertama-tama penting bagi seorang pemuda, karena ia cenderung memilih calon isterinya dari lingkungan tersebut;
b. Bernilai sosial baginya dlaam hubungan hula-hula – boru (Batak – Toba : marga yang menyerahkan wanita dan yang menerima wanita).
c. Di Sumba : wangsa-wangsa (patrilineal) pihak wanita memberikan sumbangan untuk pembayaran “jujur” anaknya laki-laki.
5. Jadi meskipun yang penting dalam arti sosial di dalam masyarakat hanyalah satu diantara kedua kelompok kewangsaan khusus (biologis), namun bagi seorang anak, baik kelompok ayah maupun kelompok ibu yang tersusun secara khusus itu bernilai sosial, dengan catatan :
a. Yang mempunyai makna dan konsekuensi yang lebih mendalam di dalam susunan petrilineal ialah kelompok wangsa si ayah;
b. Sedangkan di dalam susunan matrilineal ialah kelompok wangsa si sibu.
Tetapi apa yang dikemukakan di sini barulah lengkap apabila dikalangan suku bangsa dengan susunan kewangsaan khusus (tunggal) itu hanya terdapat satu jenis perkawian, seperti di Minagkabau (isteri dan suami tetap tinggal di dalam clannya masing-masing, anak-anaknya termasuk clan ibunya) dan di kalangan orang Batak (isteri direnggutnya dari gensnya, masuk selaku sanak semenda ke dalam gens suaminya, sedang anak-anaknya termasuk gens ayahnya).
6. Namun ada pula suku-suku bangsa pribumi yang mengenal 2 jenis perkawinan :
a. Perkawinan jujur, yang mengakibatkan si anak masuk ke dalam bagian gens (patrilineal) ayahnya;
b. Perkawinan ambil anak, yang mengakibatkan si anak masuk ke dalam gens (patrilineal) ibunya.
Jadi dalam hal terakhir ini bagian gens (patrilineal) si ibu mempunyai makna dan konsekuensi sosial yang mendalam sekali bagi anaknya.
7. Ter Haar berpendapat “asas-asas dan Susunan Hukum Adat” tahun 1960, h. 150 : jika perkawinan ambil anak itu hanya merupakan perkecualian, maka tata kewangsaan itu tetap bersifat patrilineal. Sebaliknya, kalau perkawinan ambil anak itu menjadi kebiasaan (di Saparua), maka hal ini dengan sendirinya akan menimbulkan tata-kewangsaan patrilineal.
Bila perkawinan jujur dan ambil anak itu sama besar frekuensinya (di Rejang), maka kelompok-kelompok wangsa itu tersusun dari wangsa-wangsa tunggal leluhur laki-laki atau tunggal leluhur perempuan, sednagkan keturunannya mungkin disusur / atau diikuti melalui garis laki-laki, mungkin melalui garis perempuan, sesuai dengan bentuk perkawinan orang tuanya.
Dengan demikian maka tidak tercapai tertib parental, bukan tertib unilateral rangkap, juga tidak bisa disebut tertib patrilineal atau matrilineal, sebab jumlah perkecualiannya sama besarnya dengan asas pokoknya, namun yang ada ialah kelompok-kelompok wangsa dengan susunan khusus yang berdampingan (suku), sedangkan garis yang mengakibatkan kekhususan itu setiap kali beralih dari segi ayah ke segi ibu (bergantung kepada bentuk perkawinannya). Oleh karena itu Ter Haar menyebutknya tata – kewangsaan bersegi satu yang berganti-ganti (alternerend eenzijdige verwantenorde).
8. Dalam pada itu tentu saja kedua kelompok wangsa, baik dari si ayah maupun dari si ibu, mempunyai arti sosial bagi si anak, namun salah satu ialah primer, sedang yang lain sangat sekunder. Tata – kewangsaan yang berganti-ganti semacam itu (dengan gejala pengantar berupa lembaga penyerahan anak dari bagian clan ibu kepada clan bapak) mungkin terdapat pula di wilayah Indonesia bagian timur.
9. Suatu tata-kewangsaan segi satu dapat mempunyai corak parental tertentu, bila :
a. Exogami tidak ada (Bali) atau tidak lazim lagi (Mentawai);
b. Perkawinan di lingkungan bagian clan dibenarkan demi penghematan biaya (Timor-Tengah);
c. Ada perkawinan jenis ketiga yang mengakibatkan si anak berkedudukan sama terhadap kelompok wangsa ayahnya dan kelompok wangsa ibunya.
10. Dikalangan orang Semendo dan Rebang (Sumatra Selatan) yang bertata-kewangsaan matrilineal, anak tertua bersama inti harta kekayaan kerabat atau harta kekayaan keluarga mempertahankan sistem matrilineal dengan jalan bentuk perkawinan yang dipilihnya (tunggu tubang); namun bagi yang lain-lain susunannya adalah parental, dengan adanya perkawinan semendo anak tengah.
11. Suatu masalah penting namun belum banyak diselidiki ialah persoalan : sampai di manakah pemotongan ikatan-ikatan kewangsaan sebagai akibat pendirian desa, berpengaruh atas exogami (pasti tidak selalu dan pasti bukan tidak pernah).
12. Soal dimanakah suatu keluarga berdiam : pada kelompok kerabat ayah (patrilokal) atau pada kelompok kerabat ibu (matrilokal), menurut kenyatannya penting bagi si anak, namun hubungan-hubungan menurut hukum Adat dengan (kelompok-kelompok) wangsanya dapat menerobosnya; di Kalimantan misalnya, si isteri hampir selalu – setidak-tidaknya sampai dengan kelahiran anaknya yang pertama – tetap tinggal di dalam lingkungannya sendiri, meskipun disana berlaku hubungan-hubungan parental.
13. Suatu ciri umum di dalam tata – kewangsaan di Indonesia adalah penilaian wangsa klassifikatoris (penilaian menurut “abu”-nya). Seluruh generasi orang tuanya dalam beberapa hal berkedudukan serupa dengan ayah dan ibu sendiri terhadap si anak. Perbedaan generasi menimbulkan larangan kawin.
C. Pemeliharaan Anak Yatim (-Piatu)
1. Bila di dalam suatu keluarga orang tuanya tinggal seorang, sedang disitu masih ada anak-anak yang belum dewasa, maka yang selanjutnya melakukan kekuasaan orang tua di dalam suatu wilayah yang bertata – kewangsaan parental ialah orang tua yang masih tinggal itu, kecuali jika anak-anak tadi diserahkan kepada kelompok kerabat si mati, seperti halnya dikalangan orang Dayak – Ngaju kalau suaminya itu orang luar / asing.
2. Jika di dalam wilayah bertata-kewangsaan parental demikian utuh kedua orang tuanya tidak ada lagi, maka yang wajib mengurus dan memelihara yatim-piatu ialah wangsa-wangsa terdekat dari salah satu di antara kedua belah kelompok yang berkesampatan / berkemampuan terbaik pula. Yang justru penting sekali dalam hal ini ialah : di dalam lingkungan / suasana manakah anak-anak itu dididik pada waktu kedua prang tuanya masih hidup. Soal pembayaran diwaktu perkawinan yatim-piatu tersebut (beberapa suku Dayak, Kalimantan). Anak-anak yang sudah besar menetapkan sendiri menurut pilihannya pribadi.
3. Bagaimana penyelesaiannya yang konkrit dalam menghadapi kedua faktor : wangsa terdekat dan yang berkesempatan terbaik (terlepas dari pilihan anak-anak sendiri), adalah urusan kerabat. Landraad di Jawa dan Madura dapat mengangkat seorang wali (voogd), manakala:
a. Timbul kesulitan mengenai hal itu;
b. Tidak ada seorangpun yang bersedia;
c. Ada yang bersedia namun tidak cakap / memadai (bab II Ordonansi S. 1931-53).
4. Kalau di kalangan suatu suku bangsa bertata-kewangsaan khusus, yang meninggal adalah salah satu orang tua yang tidak menyerahkan anak-anaknya ke dalam kekuasaan kepala kerabatnya sendiri, maka orang tua yang masih hidup itu melanjutkan sendiri “kekuasaan orang tua” di bawah naungan otoritas kerabatnya ; jelasnya dalam hal ini yang meninggal ialah :
a. Si ayah di Minangkabau;
b. Si ibu yang melakukan perkawinan jujur di tanah Batak, Lampung, Bali.
Namun bila yang meninggal dalam struktur demikian itu orang tua yang lain, jadi : orang tua yang menyerahkan anaknya ke dalam lingkungan kekuasaaan kerabatnya sendiri, maka tampaklah dengan jelas ketegangan antara keluarga dan kelompok kerabat (tata-kewangsaan matrilineal dan patrilineal) :
Diminangkabau anak-anak menetap di dalam kekuasaan kerabat ibunya (alm); ayahnya hanya akan memperhatikan kepentingan mereka sepanjang dimungkinkan oleh keadaan faktual.
Di tanah batak dan bali: sesudah ayah meninggal, ibu anak-anak menetap dilingkungan kerabat mendiang suaminya selaku pendidik anak-anaknya. Jika ia ingin kembali kelingkungan kerabat sendiri atau ingin kawin lagi dengan pria lain, ia dapat bercerai dari kerabat mendiang suaminya, tetapi anak-anaknya tetap tinggal di dalam kekuasaan kerabat tersebut.
D. Pengambilan/ pengangkatan anak
1. Pertama hal itu terlihat pada perkawinan ambil-anak. Di dalam tata kewangsaan patrilineal, dengan kepala kerabat yang menguasai dan akan digantian oleh warga-warga kerabat yang berwangsa dengan menurut garis keturunan laki-laki, maka dengan suatu perkawinan tanpa jujur, kewangsaan biologis itu lewat si ibu dapat diberi kekuatan berlaku sosial, sehingga anak-anaknya nanti termasuk dalm kerabat ibunya.
2. Adopsi yang terdapat merata di seluruh nusantara, ialah suatu perbutan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehinga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
a. Pertama-tama harus disebut adopsi dari anak asing di dalam suatu kelompok kewangsaan yang kuat, suatu bagian clan, suatu kerabat.
b. Di minangkabau tidak ada adopsi; di wilayah perbatasan antara minangkabau dan Mandailing ada beberapa; sedangkan di Angkola tidak ada
c. Lembaga adopsi kemenakan ( baik laki-laki dan perempuan) di Sulawesi, Jawa, dan tempat-tempat lain, yang terdapat disamping adopsi anak asing serta dapat dibedakan daripadanya karena perbedaan sebutan dan tidak adnya pembayaran. Adopsi kemenakn adalah suatu perkiaran di dalam lingkungan kerabat dalam arti luas; adopsi semacam ini biasanya dilakukan tanpa pembayaran.
d. Akhirnya perlu disebut suatu perbuatan hukum yang mengubah posisi seseorang dalam tata-kewangsaan, yaitu: seorang ayah memindahkan seorang atau 2 orang anaknya dari bagian clan/ suku ibunya kedalam suku sang ayah sendiri.
Penutup
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas bahwa
1. hukum adat mengatur hubungan anak dengan dengan orang tuanya,
a. pembedaan antara hubungan kekerabatan sebagai pengertian umum dan hubungan anak dengan orang tuanya sebagai hubungan khusus.
b. Anak yang lahir di dalam perkawinan.
2. Hubungan Anak Dengan Kelompok-kelompok Kerabat / Wangsanya
a. Kesamaan hubungan antara kelompok wangsa ayah dan anak dengan hubungan kelompok wangsa ibu dengan anak yang bersangkutan.
b. Di Kalimantan dan Sulawesi tampak adanya peralihan susunan parental yang terikat dalam rangka persekutuan suku.
c. Dibeberapa lingkungan hukum lainnya terdapat tata kewangsaan sosial yang bersifat patrilineal atau matrilineal.
d. Arti sosial di dalam masyarakat hanyalah satu diantara kedua kelompok kewangsaan khusus (biologis).
e. Suku-suku bangsa pribumi yang mengenal 2 jenis perkawinan.
f. Perkawinan ambil anak itu hanya merupakan perkecualian, maka tata kewangsaan itu tetap bersifat patrilineal. Sebaliknya, kalau perkawinan ambil anak itu menjadi kebiasaan (di Saparua), maka hal ini dengan sendirinya akan menimbulkan tata-kewangsaan patrilineal.
3. Pemeliharaan Anak Yatim (-Piatu)
a. di dalam wilayah bertata-kewangsaan parental demikian utuh kedua orang tuanya tidak ada lagi, maka yang wajib mengurus dan memelihara yatim-piatu ialah wangsa-wangsa terdekat dari salah satu di antara kedua belah kelompok yang berkesampatan / berkemampuan terbaik pula.
4. Pengambilan/ pengangkatan anak
a. Di dalam tata kewangsaan patrilineal, dengan kepala kerabat yang menguasai dan akan digantian oleh warga-warga kerabat yang berwangsa dengan menurut garis keturunan laki-laki, maka dengan suatu perkawinan tanpa jujur, kewangsaan biologis itu lewat si ibu dapat diberi kekuatan berlaku sosial, sehingga anak-anaknya nanti termasuk dalm kerabat ibunya.
b. Adopsi yang terdapat merata di seluruh nusantara, ialah suatu perbutan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat.
Daftar Pustaka
Sudiyat, imam., Sketsa Asas Hukum Adat., Cetakan ke-2; Yogyakarta : Penerbit Liberti Yogyakarta, 1981.
Komentar
Posting Komentar
askep45.com