ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
“HIPOSPADIA”

Oleh el.suetopoe
YAYASAN KEPERAWATAN YOGYAKARTA
AKADEMI KEPERAWATAN “YKY”
YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti oleh Galen dan Paulus dari Agentia pada tahun 200 dan tahun 400. Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 dengan memperkenalkan secara detail rekonstruksi uretra.
Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian besar merupakan multi-stage reconstruction; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan recurvatum, kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty. Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu; membutuhkan operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik. Pada tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one-stage repair untuk mengurangi komplikasi dari teknik multi-stage repair. Cara ini dianggap sebagai rekonstruksi uretra yang ideal dari segi anatomi dan fungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik, komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.
Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat. Kelainan ini terbatas pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama kehamilan diduga meningkatkan insidensinya. Jika ada anak yang hipospadia maka kemungkinan ditemukan 20% anggota keluarga yang lainnya juga menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat familial namun tidak ditemukan ciri genetik yang spesifik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan kelamin bawaan sejak lahir.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Menurut refrensi lain definisi hipospadia, yaitu:
1. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).
2. Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan miggu ke 10 sampai ke 14 yang mengakibatkan orifisium uretra tertinggal disuatu tempat dibagian ventral penis antara skrotum dan glans penis. (A.H Markum, 1991 : 257).
3. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).
4. Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu tempat lain pada bagian belakang batang penis atau bahkan pada perineum ( daerah antara kemaluan dan anus ). (Davis Hull, 1994 ).
5. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaannya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan. (http://photos1.blogger.com/blogger/4603/1833/1600/op.jpg).
B. ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
- Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
- Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
- Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi
C. PATOFISIOLOGI
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.
- Hipospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembngan uretra dalam utero.
- Hipospadia dimana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan skrotum.
D. GEJALA HIPOSPADIA
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
3. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
F. KLASIFIKASI
Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
1. Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
2. Tipe penil/ Tipe Middle
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
3. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak tu1.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak tu1.
2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah
3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.
G. PENATALAKSANAAN
G. PENATALAKSANAAN
Untuk saat ini penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah. Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu “spesial”, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus melakukannya dengan jongkok aga urin tidak “mbleber” ke mana-mana. Anak yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain :
- Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin. Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok.
Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
- Uretroplasty
Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glans penis. Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama.
Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada vesica urinaria (kandung kemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
Komplikasi lanjut
1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
3. Fistula uretrocutaneus
4. Striktur uretra
5. Adanya rambut dalam uretra
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
HIPOSPADIA
A. PENGKAJIAN
1. Kaji biodata pasien
2. Kaji riwayat masa lalu: Antenatal, natal,
3. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil
4. Kaji keluhan utama
5. Kaji skala nyeri (post operasi)
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi kelainan letak meatus uretra
2. Palpasi adanya distensi kandung kemih.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pasien pre operasi
1. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.
2. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik
3. Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.
Pasien post operasi
1. Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
2. Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi
3. Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
4. Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi
D. INTERVENSI
Diagnosa pre operasi
1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.
Diagnosa pre operasi
1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan manajemen regimen terapeutik kembali efektif.
NOC : Family health status
Indikator :
a. Status imunisasi anggota kelurga
b. Kesehatan fisik anggota keluarga
c. Asupan makanan yang adekuat
d. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga
e. Penggunaan perawatan kesehatan
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC : Family mobilization
Intervensi :
a. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga
b. Diskusikan kekuatan kelurga sebagai pendukung
c. Kaji pengaruh budaya keluarga
d. Monitor situasi kelurga
e. Ajarkan perawatan di rumah tentang terapi pasien
f. Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga
g. Dukung kelurga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan perubahan gaya hidup
h. Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan kelurga dalam menjaga status kesehatan.
NOC : Family health status
Indikator :
a. Status imunisasi anggota kelurga
b. Kesehatan fisik anggota keluarga
c. Asupan makanan yang adekuat
d. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga
e. Penggunaan perawatan kesehatan
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC : Family mobilization
Intervensi :
a. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga
b. Diskusikan kekuatan kelurga sebagai pendukung
c. Kaji pengaruh budaya keluarga
d. Monitor situasi kelurga
e. Ajarkan perawatan di rumah tentang terapi pasien
f. Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga
g. Dukung kelurga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan perubahan gaya hidup
h. Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan kelurga dalam menjaga status kesehatan.
2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kecemasan pasien berkurang.
NOC : Kontrol ansietas
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan sosial
g. Tidur adekuat
h. Respon cemas
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengurangan cemas
Intervensi :
a. Ciptakan suasana yang tenang
b. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa, dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
e. Ciptakan hubungan saling percaya
f. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan
g. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan.
Diagnosa post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
NOC : Kontrol ansietas
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan sosial
g. Tidur adekuat
h. Respon cemas
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengurangan cemas
Intervensi :
a. Ciptakan suasana yang tenang
b. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa, dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
e. Ciptakan hubungan saling percaya
f. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan
g. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan.
Diagnosa post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kesiapan peningkatan regimen terapeutik baik.
NOC : Family participation in profesioal care
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan
c. Menyediakan informasi yang relefan
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan
e. Evaluasi keefektifan perawatan
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Family process maintenance
Intervensi :
a. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu
b. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi
c. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat
d. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada keluarga
e. Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi
f. Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan status kesehatan keluarga.
2. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi
NOC : Family participation in profesioal care
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan
c. Menyediakan informasi yang relefan
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan
e. Evaluasi keefektifan perawatan
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Family process maintenance
Intervensi :
a. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu
b. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi
c. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat
d. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada keluarga
e. Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi
f. Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan status kesehatan keluarga.
2. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang.
NOC 1 : Level nyeri
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)
b. Perubahan vital sign dalam batas normal
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri
NOC 2 : Tingkat kenyamanan
Indikator :
a. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman
b. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri
NOC 3 : Kontrol nyeri
Indikator :
a. Mengungkap faktor pencetus nyeri
b. Menggunakan tetapi non farmakologi
c. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
d. Melaporkan nyeri terkontrol
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi :
a. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri
b. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)
d. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri
e. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
NIC 2 : Monitor tanda vital
Intervensi :
a. Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien
b. Monitor keabnormalan pola napas pasien
c. Identifikasi kemungkinan perubahan TTV
d. Monitor toleransi aktivitas pasien
e. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
NIC 3 : Manajemen lingkungan
Intervensi :
a. Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan
b. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
NOC 1 : Level nyeri
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)
b. Perubahan vital sign dalam batas normal
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri
NOC 2 : Tingkat kenyamanan
Indikator :
a. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman
b. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri
NOC 3 : Kontrol nyeri
Indikator :
a. Mengungkap faktor pencetus nyeri
b. Menggunakan tetapi non farmakologi
c. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
d. Melaporkan nyeri terkontrol
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi :
a. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri
b. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)
d. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri
e. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
NIC 2 : Monitor tanda vital
Intervensi :
a. Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien
b. Monitor keabnormalan pola napas pasien
c. Identifikasi kemungkinan perubahan TTV
d. Monitor toleransi aktivitas pasien
e. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
NIC 3 : Manajemen lingkungan
Intervensi :
a. Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan
b. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi.
NOC 1 : Deteksi resiko
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi
NOC 2 : Kontrol resiko
Indikator :
a. Membenarkan faktor resiko
b. Memonitor faktor resiko dari lingkungan
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko
d. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan
NOC 3 : Status imun
Indikator :
a. Tidak menunjukan infeksi berulang
b. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Sel darah putih tidak meningkat
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi :
a. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar
b. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan kepada petugas
c. Batasi pengunjung
d. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien
NOC 1 : Deteksi resiko
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi
NOC 2 : Kontrol resiko
Indikator :
a. Membenarkan faktor resiko
b. Memonitor faktor resiko dari lingkungan
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko
d. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan
NOC 3 : Status imun
Indikator :
a. Tidak menunjukan infeksi berulang
b. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Sel darah putih tidak meningkat
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi :
a. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar
b. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan kepada petugas
c. Batasi pengunjung
d. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien
NIC 2 : Perawatan luka
Intervensi :
a. Catat karakteristik luka, drainase
b. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
c. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan
d. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
Intervensi :
a. Catat karakteristik luka, drainase
b. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
c. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan
d. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
Intervensi :
a. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi
Intervensi :
a. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengosongkan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
E. EVALUASI
Pre operasi skala
1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.
Indikator :
a. Status imunisasi anggota kelurga 5
b. Kesehatan fisik anggota keluarga 4
c. Asupan makanan yang adekuat 5
d. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga 5
e. Penggunaan perawatan kesehatan 4
2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK 4
b. Menentukan pola BAK 4
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur 4
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet 4
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK 4
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK 4
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet 4
3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal 4
b. Mengetahui penyebab cemas 4
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas 4
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan 4
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress 4
f. Hubungan sosial 4
g. Tidur adekuat 4
h. Respon cemas 4
Post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan 5
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan 5
c. Menyediakan informasi yang relefan 5
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan 5
e. Evaluasi keefektifan perawatan 5
2. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama) 5
b. Perubahan vital sign dalam batas normal 5
(TD 120/80 mmHg; RR 22 x/mt; N 75x/mt; S 36,8ÂșC)
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri 5
d. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman 4
e. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri 4
f. Mengungkap faktor pencetus nyeri 4
g. Menggunakan tetapi non farmakologi 4
h. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri 4
i. Melaporkan nyeri terkontrol 4
3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko 4
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko 4
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi 4
d. Membenarkan faktor resiko 4
e. Memonitor faktor resiko dari lingkungan 4
f. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko 4
g. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan 4
h. Tidak menunjukan infeksi berulang 4
i. Suhu tubuh dalam batas normal 4
j. Sel darah putih tidak meningkat 4
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK 4
b. Menentukan pola BAK 4
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur 4
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet 4
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK 4
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK 4
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
E. EVALUASI
Pre operasi skala
1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola perawatan keluarga.
Indikator :
a. Status imunisasi anggota kelurga 5
b. Kesehatan fisik anggota keluarga 4
c. Asupan makanan yang adekuat 5
d. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga 5
e. Penggunaan perawatan kesehatan 4
2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK 4
b. Menentukan pola BAK 4
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur 4
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet 4
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK 4
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK 4
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet 4
3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga dan klien.
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal 4
b. Mengetahui penyebab cemas 4
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas 4
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan 4
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress 4
f. Hubungan sosial 4
g. Tidur adekuat 4
h. Respon cemas 4
Post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan 5
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan 5
c. Menyediakan informasi yang relefan 5
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan 5
e. Evaluasi keefektifan perawatan 5
2. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama) 5
b. Perubahan vital sign dalam batas normal 5
(TD 120/80 mmHg; RR 22 x/mt; N 75x/mt; S 36,8ÂșC)
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri 5
d. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman 4
e. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri 4
f. Mengungkap faktor pencetus nyeri 4
g. Menggunakan tetapi non farmakologi 4
h. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri 4
i. Melaporkan nyeri terkontrol 4
3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko 4
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko 4
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber informasi 4
d. Membenarkan faktor resiko 4
e. Memonitor faktor resiko dari lingkungan 4
f. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko 4
g. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan 4
h. Tidak menunjukan infeksi berulang 4
i. Suhu tubuh dalam batas normal 4
j. Sel darah putih tidak meningkat 4
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK 4
b. Menentukan pola BAK 4
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur 4
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet 4
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK 4
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK 4
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
Gejalanya adalah:
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.
Gejalanya adalah:
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan nanti.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.
Komentar
Posting Komentar
askep45.com